RETORIS.COM: Proses penyidikan hingga penetapan tersangka Yusuf Efendi, Direktur PT Mandiri Land Prosperous, diduga cacat formil. Pasalnya, surat SPDP tidak diberikan ke terlapor, melainkan hanya diberitahu via Whatsapp ke pengacara terlapor. Semakin tragis lagi, penyidikan model seperti itu malah disahkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, dengan menolak upaya praperadilan.
Akibatnya, hakim PN Sidoarjo terancam dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY). Dan penyidik Ditreskrimum akan dilaporkan ke Propam Polda Jatim.
Disahkannya proses penyidikan yang diduga cacat formil itu lantaran PN Sidoarjo secara keseluruhan menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh Yusuf Efendi melalui ketiga pengacaranya, yakni Arhamu Rijal SH MH, Hisyam Naufal Taqiyyuddin SH dan Rossa Pangandaheng SH. Ditolaknya praperadilan terungkap dalam sidang dengan agenda putusan yang dibacakan oleh Hakim Tunggal Kadarwoko SH MHum. “Menolak permohonan pemohonan dengan seluruhnya,” ujar Hakim Kadarwoko, Selasa (10/6/2025).
Ditolaknya praperadilan oleh PN Sidoarjo ini tentunya menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, menurut Arhamu Rijal, penetapan tersangka tanpa disertai SPDP itu sebenarnya sudah diakui oleh Polda dalam pembacaan jawaban dari termohon Polda Jatim dalam sidang sebelumnya.
“Selanjutnya termohon (Polda Jatim) menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada kejaksaan, sebagaimana surat nomor: B/409/XII/RES.1.9/2024/Ditreskrimum tanggal 5 Desember 2024 dan telah diberitahukan kepada pelapor dan terlapor/pemohon praperadilan sdr Yusuf Efendi, namun karena handphone pemohon tidak bisa dihubungi maka termohon mengirimkan melalui chat Whatsapp kepada kuasa hukum pemohon pada tanggal 5 Desember 2024,” jawaban termohon Polda Jatim dalam sidang praperadilan sebelumnya.
Dengan diakuinya tidak dikirimnya surat SPDP secara fisik oleh Polda Jatim ini, menurut Arhamu Rijal, sudah merupakan cacat prosedur atau cacat formil dalam penyidikan. Ia menilai, penyidik Polda Jatim sudah melanggar Pasal 109 ayat (1) KUHAP sebagaimana telah diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 130/PUU-XIII/2015 yang berbunyi: Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor
dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.
“Jadi, selama ini tidak ada surat SPDP secara fisik yang diterima oleh klien kami. Sedangkan sebelumnya, klien kami menerima surat secara fisik dari penyidik, mulai dari surat undangan klarifikasi, surat penetapan tersangka, begitu juga surat panggilan tersangka kesatu dan kedua, semua ada surat secara langsung atau fisiknya. Sedangkan surat SPDP ini tidak ada. Dan itu sudah diakui termohon di dalam jawaban jika termohon memang tidak pernah mengirimkan surat SPDP secara langsung atau fisik, melainkan lewat chat Whatsapp, ini khan sudah menyalahi prosedur penyidikan. Kalau alasanya handphone klien kami tidak bisa dihubungi, kenapa surat SPDP itu tidak dikirim ke kantor pengacara klien kami,” ungkap Arhamu Rijal usai sidang kepada awak media.
Selain itu, lanjut Hisyam Naufal, tanggal lahir yang tertulis dalam surat penetapan tersangka pun tidak sesuai dengan tanggal lahir yang ada di KTP kliennya. Dalam surat di penyidik bahwa Yusuf Efendi lahir tertulis tanggal 01-08-1984, sedangkan sesuai KTP tertulis pada 08-08-1984. “Berdasarkan tanggal lahir pun sudah berbeda dengan KTP klien kami. Dan soal SPDP itu bahwa pihak Polda memberitahukan melalui Whatsapp, tidak menyerahkan SPDP ya,” tambah Naufal.
Sementara dengan adanya putusan tersebut, Arhamu Rijal mengaku kecewa. Bahkan, ia akan melaporkan hakim yang menyidangkan kasus tersebut Komisi Yudisial (KY) dan melaporkan penyidik ke Propam. “Kami kecewa, karena ada pasal 109 KUHAP yang dilanggar penyidik. Tapi kenapa diputus tidak ada cacat formil. Dan, dalam waktu dekat kami akan melayangkan surat ke Komisi Yudisial dan Propam. Karena kemana lagi klien kami memperoleh keadilan?,” tambah Arhamu Rijal.
Seperti diketahui, kasus ini muncul setelah ada kesepakatan jual beli tanah dan bangunan Perumahan Green Garden Residence Cemandi, di Desa Cemandi, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo. Kebetulan Yusuf Efendi menjabat sebagai Direktur PT Mandiri Land Prosperous, yang merupakan pengembang dari perumahan tersebut. Saat itu, dalam masa pandemi Covid-19 yang lagi merebak di Tanah Air. Sehingga pembangunan rumah, sesuai yang dipesan oleh 15 orang customer tidak bisa terpenuhi. Namun dalam perjalanannya telah terjadi kesepakatan kedua belah pihak bahwa pengembang akan mengembalikan semua uang customer asalkan customer tidak melakukan upaya hukum, baik pidana maupun perdata, menandatangani formulir permohonan pembatalan pembelian unit rumah, menyerahkan Akta PIJB (Perjanjian Ikatan jual Beli) asli, menandatangani Akta pembatalan PIJB di hadapan Notaris & PPAT dan menghapus berita-berita yang menyudutkan pihak pengembang. Kesepakatan itu pun juga dikuatkan dengan surat penetapan dari pengadilan.
Bahkan, lanjut Arhamu Rijal lagi, kliennya saat itu sudah menyerahkan uang sebesar Rp 500 juta melalui pengacara customer. Dan uang itu sudah dibagi dan diterima oleh para customer. Namun, meski menerima uang sebesar itu, kewajiban yang seharusnya dilakukan para customer ternyata tidak pernah dipenuhi. Lantaran tidak dipenuhinya kewajiban itu, pihak pengembang kemudian melakukan wanprestasi dengan mengirim cek kosong. Nah, dari sinilah pihak pengembangan dilaporkan ke Polda Jatim dengan tuduhan diduga melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan.
“Sebenarnya dari awal klien kami sudah punya etiket baik untuk mengembalikan semua uang mereka. Tapi ternyata mereka tidak memenuhi kewajibannya. Dan yang melaporkan ini tidak semua 15 customer, melainkan hanya sebagian saja. Karena sebagian sudan ada yang menempati rumah yang dipesan,” pungkas Arhamu Rijal. (Dwi)