RETORIS.COM: Berbagai kejanggalan kian tampak atas klaim kepemilikan rumah Jalan Dr. Soetomo 55 Surabaya. Setelah klaim dari Tri Kumala Dewi, kemudian muncul klaim dari Pudji Rahayu, yang mengaku beli rumah tersebut dari Tri Kumala Dewi.
Namun ditengah proses hukum yang berjalan, mendadak Pudji Rahayu malah mencabut dua gugatannya sekaligus. Bahkan kedua gugatan tersebut dicabut dalam rentang waktu yang nyaris bersamaan.
Pada Kamis 10 April 2025, Pudji Rahayu mencabut gugatan perlawanan eksekusi. Disusul pada Rabu 16 April 2025 Pudji Rahayu kembali mencabut gugatan PMH (Perbuatan Melawan Hukum). Padahal, kedua gugatan itu disebut-sebut untuk ‘mengganjal’ proses eksekusi yang diajukan pihak pemohon eksekusi, yaitu Handoko Wibisono, yang merupakan pemegang SHGB rumah Jalan Dr. Soetomo 55 Surabaya.
Benny Abadi SH., salah satu kuasa hukum Handoko Wibisono kepada sejumlah awak media membenarkan adanya pencabutan dua gugatan Pudji Rahayu. Menurutnya, pekan lalu, kuasa hukum Pudji Rahayu secara tertulis telah mencabut gugatan perlawanan eksekusi dengan Nomor 184/Pdt.Bth/2025/PN.Sby. “Tadi Bu Pudji Rahayu mencabut gugatan yang satunya, yaitu Gugatan PMH dengan Nomor 242/Pdt.G/2025/PN.Sby,” ungkap Benny usai sidang di Ruang Kartika 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Namun demikian, kata Benny, pencabutan kedua gugatan tersebut tanpa disertai alasan yang jelas. Kuasa hukum Pudji Rahayu pun tidak memberikan keterangan spesifik atas pencabutan gugatan tersebut. “Jadi, dua gugatan dari beliau (Pudji Rahayu) sudah habis dicabut,” jelas Benny.
Pencabutan kedua gugatan dalam waktu yang nyaris bersamaan tersebut tentunya menimbulkan berbagai pertanyaan publik. Benarkah itu hanya strategi untuk memunculkan pihak baru yang kembali menggugat Handoko Wibisono? Atau, pencabutan gugatan terkait dengan bukti-bukti kepemilikan?
Iko Kurniawan SH.Mhum. salah satu kuasa hukum Handoko Wibisono lainnya menilai jika hal itu bisa saja terjadi. “Kita tidak tahu hal seperti itu, mungkin bisa saja nantinya mereka mengajukan lagi dengan memakai kuasa hukum lainnya dan dugaan seperti itu selalu ada,” tegas Iko Kurniawan yang ditemui awak media di PN Surabaya.
Meski demikian, lanjut Iko Kurniawan, sebagai kuasa hukum dari pemegang SHGB rumah Jalan Dr. Soetomo 55, pihaknya tetap all out dalam menghadapi berbagai kemungkinan. “Kalau gugatan seperti itu berpengaruh atau tidak terhadap eksekusi, ya kita kembalikan kepada Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, yang jelas kita tetap all out,” tandasnya.
Sementara, Aris Priyanto, S.H., Ketua Tim Hukum Handoko Wibisono memaparkan, jika tidak lama lagi pihaknya akan kembali mengajukan eksekusi lanjutan atas obyek yang terletak di Jalan Dr Soetomo 55 tersebut. Meskipun pada eksekusi sebelumnya gagal karena dihadang oleh ratusan anggota Ormas.
Aris Priyanto menduga, jika pencabutan kedua gugatan tersebut ialah bagian dari strategi untuk memunculkan pihak lain. “Kita tetap pada keadaan semula (kembali mengajukan eksekusi). Pada prinsipnya ini khan (obyek) sudah dijual ke pihak ketiga (Pudji Rahayu). Dan, ada dugaan kemungkinan bisa dijual kembali. Tetapi kami yakin, bahwa kebenaran akan menemukan jalannya sendiri,” papar Aris.
Sedangkan Helena Stela Ritu, SH., kuasa hukum Pudji Rahayu ketika dikonfirmasi awak media terkait pencabutan gugatan, enggan memberikan alasan yang jelas. Ia hanya menyatakan, pihaknya tidak akan mengajukan gugatan kembali setelah pencabutan tersebut. “Tidak ada alasan ya. Tidak, tidak menggugat lagi,” singkatnya.Sidang pencabutan gugatan di PN Surabaya. Foto: ist/dok
Diketahui sebelumnya, Pudji Rahayu mengklaim sebagai pemilik rumah Jalan Dr Soetomo No.55 setelah membeli dari Tri Kumala Dewi berdasarkan surat pengikatan jual beli tertanggal 8 Januari 2021. Anehnya, Pudji Rahayu tidak muncul sebagai pihak intervensi ketika kasus sengketa tersebut mencuat ke publik pada tahun 2022.
Sedangkan kepemilikan oleh Handoko Wibisono berdasarkan fakta dan bukti-bukti yang kuat. Diantaranya, eigendom verponding tanggal 21 Desember 1929 Nomor 1300. Kemudian, pada 14 Mei 1969 eigendom verponding tersebut didaftarkan ke Kepala Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Pendaftaran Tanah Kota Surabaya hingga terbit SHGB Nomor 651.
Kemudian, SHGB tersebut menjadi objek jual beli pertama kali melalui Akta Jual Beli Nomor 77 Tahun 1972, antara Bouw Hadel Maatschappij Tjay Hiang dengan Dokter Hamzah Tedjasukmana. Berjalannya waktu, rumah tersebut dijual oleh Dokter Hamzah ke Tina Indrawati Juanda pada tahun 1992. Namun, tahun 2007, Tina Indrawati Juanda menjual kembali ke Rudianto Santoso. Nah, dari Rudianto rumah itu dijual ke Handoko Wibisono pada November 2016.
Klaim kepemilikan oleh Tri Kumala Dewi, yang mengaku berdasarkan putusan PK disebut juga penuh kejanggalan.
“Anehnya lagi, dalam perkara nomor 195/Pdt.G/2024/PN.Sby, Tri Kumala Dewi dalam positanya nomor 8 mendalilkan bahwa dirinya adalah pemilik atas objek tanah dan bangunan itu berdasarkan putusan PK. Padahal, di dalam amar putusan PK enggak ada yang menyatakan dia sebagai pemiliknya,” terang Iko Kurniawan.
Kejanggalan juga terlihat adanya sikap TNI AL dalam konferensi. “Dalam perkara nomor 195/Pdt.G/2024/PN.Sby, pihak Angkatan Laut selaku Turut Tergugat IV tidak mengajukan Jawaban. Saya enggak tahu kenapa ya? Mereka hadir saat mediasi, tapi enggak mengajukan jawaban. Tetapi mereka juga hadir saat pemeriksaan saksi. Ini juga aneh,” tambah Iko Kurniawan.
Sebelumnya, Reno Suseno SH., kuasa hukum Handoko Wibisono lainnya juga mengungkap adanya kejanggalan. Diantaranya dalam konsinyasi yang dibawakan oleh Tri Kumala Dewi. “Dari konsinyasi yang disampaikan oleh Ibu Tri Kumala itu menunjukkan bahwa dia adalah penyewa. Pada saat itu, pengajuan pembelian atas objek ini tidak pernah disetujui. Kenapa bisa saya bilang begitu? Karena satu hal, kenapa konsinyasi ini bisa sampai tiga kali? Harusnya kalau memang dari pemilik sebelumnya sudah menyetujui adanya pembelian yang dilakukan oleh Ibu Tri Kumala, tidak perlu mengajukan sampai tiga kali konsinyasi,” ungkap Reno.
Di sisi lain, Reno juga membandingkan putusan PK yang dimenangkan oleh Tri Kumala Dewi dengan putusan PK yang diajukan oleh Handoko. “PK Nomor 351 PK/Pdt/1997 itu tidak memberikan kepastian hukum terhadap salah satu pihak atas objek yang dilindungi undang-undang. Seharusnya, putusan didalam PK menyebutkan secara pasti siapa pemiliknya, apakah Dr Hamzah atau Tri Kumala. Tetapi, putusan PK ini tidak menyebutkan sama sekali,” kata Reno menjelaskan.
Kejanggalan serupa juga terjadi pada PK tahun 2013 antara Tri Kumala Dewi dengan Rudianto Santoso. Yakni, dalam amar putusan kedua PK disebutkan, tidak ada satupun yang menyatakan bahwa Tri Kumala Dewi adalah pemilik yang sah.
Reno kemudian membandingkan dengan putusan PK Nomor: 1130 PK/Pdt yang berkaitan dengan putusan perkara nomor: 391/Pdt.G/2022/PN.Sby. “Dalam putusan itu disebutkan secara jelas bahwa permohonan peninjauan kembali (PK) dari Tri Kumala Dewi ditolak, dan klien kami (Handoko Wibisono) mendapatkan kepastian hukum bahwa gugatannya dikabulkan dan memiliki kekuatan hukum tetap,” urainya.
Bantahan juga disampaikan Reno jika rumah tersebut diisukan sebagai asset dari Pahlawan Nasional Yos Sudarso.
“Kalau memang itu rumah peninggalan Yos Sudarso, kenapa terbit Surat Izin Pembelian Nomor DAKRAL-4.111.002/3/72 tertanggal 17 Maret 1972. Isinya menyatakan, bahwa Bapak Subroto Judono, ayah dari Ibu Tri Kumala, mendapatkan izin untuk melakukan pembelian. Namun, dalam surat itu juga ada klausul yang menyatakan bahwa pembelian harus diatur dan diselesaikan sendiri dengan pemilik rumah, dalam hal ini pemilik awal adalah dokter Hamzah. Jika rumah itu memang rumah pahlawan Yos Sudarso, kenapa ada klausul seperti itu?,” pungkas Reno. (Dwi)